SATU “ Hari itu tiba”


Hari ini gerimis mengguyur sebagian kota. Aku masih terduduk di sudut kedai kopi yang jendelanya menghadap ke jalan. Ice Amerikano yang kupesan sudah tandas setengahnya sebelum akhirnya kuputuskan untuk membuka kembali draft tulisan yang beberapa tahun ini tak pernah lagi kulanjutkan untuk dituliskan.


Barangkali mungkin salah satu alasan orang-orang duduk berlama-lama di kedai kopi adalah untuk menemui dirinya sendiri yang sedang berdamai. Barangkali ada beberapa hal yang hilang dan tercuri di diri mereka, membuat sedih berkepanjangan bermukim. Jam kerja merebut beberapa hal dari kita, kesepian yang harus kita nikmati dan juga jeda yang butuh duduk sejenak. 


Aku kembali membaca satu persatu tulisan lama yang pernah kutuliskan. Bagiku menulis adalah cara terbaik untukku menyampaikan hal yang ingin kusampaikan pada orang banyak. Aku tidak punya kemampuan seperti beberapa temanku yang lainnya untuk bercerita ketika ada masalah berat atau sekedar mengobrol dan didengarkan oleh yang lainnya. Diam bagiku adalah meredam segala. Beberapa tulisanku membuatku tersenyum sendiri. Ada beberapa perjalanan yang kutuliskan agar kelak aku bisa mengenang kembali masa itu. Hari-hari di masa lalu memang terkadang menjadi yang paling di rindukan. Ada banyak hal yang kemudian berubah dariku dan juga caraku memandang perihal hidupku di masa sekarang.


Gerimis yang tadinya sedang kini berubah menjadi hujan yang semakin menderas. Hanya aku yang masih duduk di sudut kedai kopi sembari mendengarkan lagu Utada Hikaru - First Love terputar dari playlist kedai kopi yang mengalun pelan. Aroma kopi dari mesin pembuat kopi ,aroma croffle dan cahaya lampu kedai kopi yang temaram seolah membuat beberapa ingatan masa lalu kembali menyeruak di dada. Ingatan yang seharusnya sudah kutepikan jauh hari sebelumnya. Aku duduk termanggu memandangi rintik hujan yang menderas serta orang-orang yang berlalu-lalang di bawah derasnya hujan. Hujan dan kenangan adalah dua hal yang selalu tak bisa di pisahkan. Aku suka sekali duduk termenung ketika hujan, entah sedang berteduh atau memang sedang ingin duduk di kedai kopi dan menikmati pemandangan hujan. 


Aku kembali mengarahkan pandanganku pada IPad yang masih membuka draft tulisan yang tak pernah kuselesaikan , satu persatu tulisan itu kubaca dengan lamat-lamat. Ada banyak tulisan yang akhirnya urung untuk sekedar kubagikan ke sosial media, entah aku pikir tulisan ini terlalu menggambarkan perasaanku atau tulisan ini kurang bagus dan alasan lainnya yang buatku merasa cukup menyimpan mereka di draft. Semua isi draft itu separuhnya adalah perasaanku pada Derai.

Bagaimana bisa aku bertahan selama itu ,tanpa bicara, tanpa menunjukkannya bahkan aku menghadapi sunyinya rinduku sendirian. Pikiranku terlempar beberapa tahun silam sejak rindu sering menjalari seluruh isi kepala dan hatiku.


“ mengapa aku bisa bertahan selama itu, bodoh.” Gumamku dalam hati.


Nanti, seorang barista perempuan di kedai kopi ini menghampiriku dan memberi segelas coffee latte, “ kadangkala perasaan yang dingin butuh dihangatkan,” Nanti tersenyum lalu kembali ke balik meja bar.

“Oh iya,ini sebagai ucapan terima kasih karena selalu mengunjungi kedai kami,” Nanti tersenyum kembali.

Aku berbalik sambil menundukkan badan dan tersenyum seraya berterima kasih. 

Diantara semua barista di kedai ini, aku dan Nanti memang sering bertukar cerita disaat ia senggang . Ia sering memberiku hadiah kopi di hari-hari yang lain. Aku memandangi coffee latte dengan motif hati itu,perlahan aku mulai kembali tenggelam dalam pikiran-pikiranku sendiri. 


Ia yang selama ini menjadi alasanku menulis dan mencoba melupakannya dengan menuliskannya. Aku hanya bisa menuliskannya, karena tak ada daya untuk menunjukkan atau mengatakannya. Aku hanyalah seorang hamba yang lemah di hadapan perasaan-perasaanku. Ia hanya abadi dalam tulisanku,meski begitu aku dulu sering berharap ia menemukanku dari banyaknya tulisan untuknya. Hingga hari itu tiba,aku bertemu dengannya lagi setelah melewati beberapa tahun yang tak mudah. Barangkali begitulah takdir mempertemukan orang-orang. Aku pernah begitu mengharapkannya untuk berdiri di hadapanku sembari tersenyum dan menyadari keberadaan perasaanku padanya. Apa daya kami di pertemukan disaat yang tidak tepat ,em..tidak bukan tidak tepat barangkali tepatnya di masa yang sudah lewat. 


Bagiku,Derai adalah bagian puisi dalam hidupku yang selalu kutulis tapi tak sanggup kubaca. Ia adalah masa yang telah lewat tapi selalu menarikku kembali untuk sekedar menjumpainya dalam kenang. Ia tak bisa kubersamai di kehidupan ini.


Tepat seminggu yang lalu,kami bertemu kembali oleh ulah yang kubuat sendiri. Rasanya semesta sedang memberiku isyarat kalau ini adalah waktu yang tepat untuk melepaskan semua perasaan yang tertahan lama di relung hati. Aku kembali bertemu dengannya setelah sekian lama memutuskan melupakan semuanya namun masih terkadang sulit. Sudah sewindu ia mengendap disana,membuatku selalu merasa bahwa kadang semesta tak adil karena hanya memberiku perasaan sepihak tanpa memberiku keberanian memperjuangkannya lebih dari sekedar doa.


Kami bertemu di kedai kopi hari ini, salah satu tempat di sudut kota yang kusukai. Ini kali kesekian yang hanya mampu kuhitung jari bertemu dengannya. 


“Hai...” aku menyapa seorang lelaki berkemeja hitam yang berdiri membelakang di dekat pintu masuk kedai kopi.


Ia berbalik dan hanya tersenyum , masih sama seperti pertama kali aku melihat senyum tipisnya malam itu. Senyumnya masih sama, wajah teduhnya pun masih sama, rambutnya yang lurus dan sedikit ia panjangkan, ia masih seorang pemalu yang aku ingat.


“Sudah lama,” aku berusaha untuk tidak terlihat gugup dihadapannya.


“ baru,” ia tersenyum.


“Emm.. maaf karena harus sedikit memaksa untuk bertemu.” aku agak canggung.


Ia tersenyum lagi “ tak apa.”


Kami lalu masuk ke kedai kopi, memilih sudut kesukaanku yang memang sudah kupesan pagi tadi pada Nanti agar di kosongkan. Ia duduk menghadap jendela yang mengarah ke jalan sementara aku duduk di kursi samping yang menghadap ke arah pintu kedai. 


Setelah memesan minum, kami terdiam beberapa saat tanpa bicara. Aku melawan seluruh rasa canggungku dengan mulai membuka pembicaraan dengannya. Kami seperti dua orang asing yang bertemu setelah melewati masa yang panjang. Aku mulai menjelaskan maksud dan tujuanku menemuinya. Setelah drama panjang selama 3 bulan belakangan. Aku akhirnya memberanikan diriku untuk mengetik beberapa baris chat untuk menemuinya. 


“Lalu apa yang harus aku dengarkan,” ia tersenyum sambil menatapku.


“ em..barangkali kamu sudah bisa menebak dari sebagian pembicaraan kita di chat tadi,” wajahku mulai serius.


“ tentang teman kamu?” ia menjawabku sembari pandangannya mengarah ke langit. Beberapa kali ia memang tak memadangku, ia hanya terus mendongak ke langit abu-abu sore itu.

Seminggu yang lalu seorang teman menanyakan keadaan Derai padaku, ia ingin bertemu dengannya dan memintaku menghubungkan mereka. Namun ada kenyataan yang harus kutemui ketika memutuskan membantunya.


“Sebagian tentang itu tapi aku memang ingin membicarakannya lebih jelas.” Aku ikut mendongak ke langit yang abu-abu sore itu.

 

Derai dan langit abu-abu, dingin dan jauh. Ia sulit untuk tergapai. Ia tidak banyak bicara tapi tatapannya berbicara banyak. Aku melihat Derai dari sana. Matanya seolah berbicara banyak dan siap menenggelamkan siapa saja yang memandangnya. Aku salah satunya. 


“Lalu apa yang harus kudengarkan”, Derai mengalihkan pandangannya ke arahku. Aku bisa melihat dengan jelas wajah teduh itu dihadapanku lagi.

Suaraku mendadak tercekat, tanganku mulai dingin. Ingin rasanya berlari pulang dan berharap tak bertemu lagi dengannya. Berulang kali aku menguatkan diri untuk segera bercerita.


“ Aku menyukai langit mendung dan merasa tenang ketika memandanginya, namun kadang membencinya karena itu pertanda hujan akan tiba.” Derai sekali lagi memandangiku lalu kemudian menatap langit kembali.


Tanganku semakin terasa dingin, tak satupun kata yang sudah kupikir kan bisa keluar dan menjadi pembicaraan. Suaraku terus tercekat ketika ingin berbicara satu kalimat. 


“A..aku, sebenarnya ingin mengatakan satu hal,” suaraku terbata.


“ jika berat kau tak perlu terburu-buru mengatakannya,” Derai masih memandangi langit ketika menjawabku.


Mengapa aku setakut dan se malu ini hanya untuk membicarakan hal yang sebenarnya. Apa aku harus melewatkan kesempatan ini lagi untuk bisa mengatakan semua padanya. 


Semua ini memang sepenuhnya perasaanku yang sudah mengendap lama bahkan hingga bertahun-tahun kemudian. Hingga hari ini. Derai , pernah suatu masa aku begitu sangat Merindukanmu hingga dadaku sesak dan aku menangis. Aku menangisi diriku yang tak mampu melakukan apa-apa, aku menangisi diriku yang memiliki perasaan seperti ini, aku menangisi diriku yang menyedihkan. Namun kata ibuk, memiliki perasaan cinta itu adalah anugerah yang memang diberi pada manusia. Aku harus menikmati dan menjalaninya hingga kelak waktu memberi jalannya. Kita akan bertemu dan bersama ataukah hanya menjadi kenang bahwa pernah memiliki perasaan ini. Aku menguatkan hati ditahun-tahun panjang itu. Kesempatan melihatmu dari kejauhan pun tak pernah berpihak padaku, lantas aku masih se-batu itu bertahan. Aku hanya tahu jatuh dan mencintaimu tanpa bisa berpaling ke hati yang lain. 


“Kita tidak hanya akan duduk seperti ini bukan?”. Derai sepertinya sudah tidak nyaman karena kami hanya berbicara canggung dan diam lebih lama.


“em… maaf,” aku mulai menguatkan diri untuk memulai pembicaraan.


Aku ingin membicarakan Rissa, meski suaraku sedikit tercekat tapi aku berusaha untuk melanjutkan pembicaraanku. Rissa adalah separuh hidup Derai sebelum hubungan mereka berakhir. Aku tahu semua kisah mereka dari Rissa yang ternyata bekerja sebagai akuntan di kantor tempatku bekerja. Setiap hari ia mengutuki dirinya karena meninggalkan Derai. Hingga suatu hari ia disia-siakan oleh kekasih barunya, ia memintaku untuk menghubungkannya kembali dengan Derai. Rissa hanya tahu bahwa aku dan Derai kenal dan tinggal di satu kota yang sama bahkan Derai adalah teman baik adikku. Awalnya aku ingin menolak karena Derai adalah seseorang yang selalu kutuliskan dalam draft tulisanku yang selalu di baca oleh Rissa. Ia senang membacanya dan berharap suatu hari aku dan lelaki yang kutuliskan itu bisa bersama. Hatiku bingung dan sangat gamang kala itu. Di satu sisi Derai adalah orang yang kusukai bertahun-tahun lalu, sementara Rissa adalah seseorang yang begitu dicintai Derai. 


Sudah 3 bulan belakangan Rissa sering memintaku untuk menghubungkannya kembali dengan Derai. Aku tak kuasa menolak apalagi setiap hari kami harus bertemu dalam satu ruang kerja. Meski aku tak selalu bertemu karena aku berada di bagian dari divisi lain. Sampai aku memberanikan diri untuk meminta nomer whatsapp Derai pada adikku. Rissa sudah tak memiliki kontak Derai karena kekasih barunya dulu menghapus semua kontak lelaki di ponsel Rissa. 


Aku menceritakan semua yang ingin dikatakan Rissa dan memberitahu maksutku mengajaknya bertemu adalah untuk menghubngkannya kembali dengan Rissa. Meski pada akhirnya aku menyesali mengiyakan permintaan Rissa. 


“ kadang apa yang sudah tertinggal dibelakang, tak lagi bisa membawa kita kembali kesana.” Derai menarik nafas panjang usai mendengar ceritaku.


Suasana kedai kopi sore itu sedikit dingin, mungkin karena pendingin ruangan. Tapi ini bukan tentang itu. Derai kembali menatap langit abu-abu setelah mengucap kalimat itu. 


“ kalau kamu mau mengatakan lebih banyak aku siap mendengarkanmu.” Aku pelan-pelan memulai lagi pembicaraan kami.


Derai berbalik menatapku sembari tersenyum “ sudah cukup, aku tidak butuh lebih banyak penjelasannya. Hidupku sekarang sudah jauh lebih baik dan lebih tenang.” 


“ ttapi, aku tidak tahu harus menjelaskan apa pada Rissa nantinya.” 


“ kamu katakan saja apa yang kau katakan tadi.” Kali ini wajah Derai tampak lebih tenang.


“ bagaimana kalau Rissa tidak puas dengan apa yang aku katakan padanya.” Kata-kataku mulai mengisyaratkan kecemasan.


“ em.. kamu bisa merekam pembicaraan kita.” Derai tersenyum kali ini.


Mengapa ia bisa setenang ini, mengapa ia tersenyum. Apa ia bahagia karena mendengar Rissa begitu sangat menderita setelah berpisah dengannya. Mengapa ia tak berekspresi kasihan atau tiba-tiba sedih. 

Isi kepalaku mendadak penuh oleh pertanyaan-pertanyaan.


“ em tapi, kenapa kamu tidak sedih atau bersimpati.” Pertanyan itu terlontar begitu saja. 


Derai hanya menanggapinya dengan tersenyum. Sungguh hari ini senyumannya membuat debaran kecil di dadaku. 

Sore itu pembicaraan kami usai sebelum magrib dan Derai memintaku untuk mengirim seluruh isi pesan kami pada Rissa. Sebagai bukti kalau saja ia tak percaya tentang apa yang dikatakan Derai. 


Kami berpisah di pintu kedai kopi. Punggung itu menjauh. Riuh kepalaku kembali pada banyak hal panjang yang pernah kulalui. Meski sebelum bertemu dan mengirim pesan untuknya aku meyakinkan diriku bahwa aku tak lagi memiliki perasaan itu dan tak akan lagi memilikinya. Tapi sore itu aku merasa debaran itu kembali lagi bahkan lebih berdebar dari sebelumnya.

Komentar

Postingan Populer