R E D A

PROLOG 


Bagaimana rasanya menyukai seseorang tanpa pernah memperlihatkannya? Bahkan barangkali orang tersebut tidak pernah mengetahui keberadaanmu.

Lalu tiba-tiba muncul dimasa depan dan menceritakan semua yang telah ia lewati selama menyukaimu.


Deg !!

Aku ingin menjawabnya dan menceritakan kisah yang pernah kulewati.


Pernahkah kamu merasakan tiba-tiba dadamu berdegup kencang, jemarimu dingin, terdiam membeku sesaat tapi tetap berusaha tersenyum namun tak tahu menerjemahkan perasaan apa ini. Begitulah perasaan yang pernah kurasakan saat remaja. Usiaku masih 13 tahun kala pertama kali merasakannya. Pertama kali melihat wajahnya yang teduh, melihat senyumnya yang bersahaja dan tiba-tiba merasa sangat senang ketika berada di sekitarnya. Perasaan - perasaan yang tak bisa kuterjemahkan itu yang akhirnya kuketahui bertahun kemudian ketika telah dewasa. 

Dan bertemu lagi dengannya disuatu hari yang telah di atur semesta.


“Sekala Rindu, tapi teman-teman biasa memanggilku Sekala atau Lala” aku memperkenalkan diriku pada beberapa orang yang berada di ruangan pelatihan kepemimpinan sore itu. Ada beberapa anak sepantaran usiaku yang ikut dalam kegiatan latihan kepemimpinan itu. Kursi-kursi di ruangan itu di susun berbentuk huruf U dan aku duduk tepat di deretan bangku ketiga dari pintu. Namun seseorang menarik perhatianku, ia duduk tepat di seberang tempatku duduk. Ia hanya duduk dengan sedikit menunduk malu-malu,sesekali ia menatap orang yang sedang memperkenalkan diri. Hingga tiba gilirannya memperkenalkan diri, ia berdiri dengan sedikit ragu dan malu-malu. Ia mengenakan kemeja polo shirt berwarna hijau, rambutnya lurus dan di potong rapi, kulitnya putih, wajahnya teduh dan ia pemalu. 


“ Nama saya Derai, teman-teman bisa menyapa saya Derai”. Ia langsung duduk kembali dan sedikit menunduk malu-malu. Seisi ruangan hanya terdiam dan hanya aku yang tersenyum dengan mata berbinar. 

Jantungku berdegup kencang, tanganku tiba-tiba dingin tapi aku tersenyum merasakannya.


Diam-diam aku sering mencuri pandang menatapnya. Sekalipun ia tidak pernah tersenyum. Ia lebih sering menunduk dan sesekali memperhatikan materi yang di berikan oleh pemateri. Sore itu aku tak bisa menerjemahkan apa yang sedang kurasakan di dadaku. Mungkin karena waktu itu aku masih remaja yang belum paham menerjemahkan perasaan, bahwa yang kurasa kala itu adalah perasaan suka. Aku tidak tahu bahwa cinta ini akhirnya bermula hari itu. Hari dimana pertama kali melihatnya disebuah sore yang cerah. 


Esoknya, hari kedua tempat duduk kami di acak. Di deretan kursi berbentuk U aku mendapat tempat duduk di deretan kursi paling tengah, yah.. tepat di tengah berlurusan dengan pemateri. Ia duduk satu kursi dariku. Dadaku lagi-lagi berdegup kencang karena ia berada di sekitarku. Sesekali aku meliriknya diam-diam. Ia sangat serius mencatat setiap materi yang diberikan. Sementara aku masih sibuk bertanya-tanya dalam kepalaku mengapa sudah dua hari ini tiap melihatnya berada di sekitarnya bahkan memikirkannya sebentar aku selalu merasa dadaku berdegup, seperti ada yang beterbangan di rongga perutku, aku takut sedang terkena penyakit. Akhirnya kuputuskan tak memikirkannya. Besok aku harus menghindari berada di sekitarnya. 


Semua materi hari kedua usai dan sebelum pulang kami di beri tugas kelompok untuk esok hari. Kelompoknya di bagi berdasarkan tempat kami duduk, kelompok satu di barisan pertama  lalu kelompokku dan Derai dan satu kelompok lain bagian deretan tempat duduk sebelahnya. Aku semakin tak karuan tapi aku senang sore itu entah dengan alasan apa tiba-tiba saja perasaanku senang sekali. Tugas kami menuliskan hal yang selama dua hari ini di dapatkan selama mengikuti latihan kepemimpinan dan harus menuliskan kesan pertama ketika bertemu teman kelompok kami. Besok tugasnya di kumpul sebelum materi dimulai, kata seorang kakak panitia di dalam ruangan. 


Bapak sudah menjemputku diluar. Aku bergegas naik ke boncengannya. Disepanjang jalan aku memikirkan apa yang akan kutuliskan perihal kesan pertamaku melihat Derai. Aku tersenyum sendiri di boncengan bapak dan merasa dadaku kembali berdegup kencang. Sore itu cerah dan aku merasakan perasaan itu lagi. 


Hari ketiga sekaligus hari terakhir kami mengikuti latihan kepemimpinan dan kali ini kami akan menginap hingga esok.  Sebelum materi dimulai, panitia meminta kami mengumpulkan tugas yang diberikan kemarin. Tempat duduk kami tidak lagi diacak tapi katanya dibawah kursi kami sudah di beri nomer berpasangan dengan seorang teman lain. Malam nanti akan diadakan perjalanan dan kami akan dibagi menjadi kelompok kecil, empat orang dalam satu kelompok.


Lewat jam 11 malam kami sudah di kumpulkan dalam satu ruangan yang gelap dan cuma ada cahaya lilin sebagai penerangan. Katanya jalan malam ini sebagai salah satu prasyarat untuk kami lulus dalam kegiatan ini. Karena jika tidak lulus artinya kami akan mengulang kembali kegiatan yang sama hingga benar-benar lulus. Aku sudah bisa melihat wajah kelelahan kami semua dan bahkan ada yang terlihat terkantuk-kantuk tapi berusaha di tahannya. Aku berdiri di deretan barisan paling belakang, aku suka berdiri paling belakang. Mataku berusaha mencari Derai, ternyata ia berada di 2 barisan lain. Ada 7 kelompok malam itu. Aku di kelompok 4 dan Derai di kelompok 2. Kali ini dadaku hanya berdegup sebentar karena segera kualihkan pikiranku ke hal lain. 


Awalnya kami masih bisa saling berbincang hal-hal ringan sampai tiba di persimpangan jalan yang gelap, kami mulai hening. Rara dan Dito mulai tidak banyak bicara. Padahal Dito dan Rara termasuk anak yang aktif dan kritis di kelas jika ada materi. Mendadak mereka menjadi diam ketika melewati jalan gelap. Suasananya lumayan hening, gelap dan hanya ada suara beberapa hewan malam dan langkah kaki kami. Aku berada di barisan paling belakang. Kata Dito kami butuh waktu sekitar 10 menit untuk tiba di pos pertama. Udara malam mulai terasa dingin. Aku mulai merasa capek. Sementara Rara dan Dito hanya terus berjalan tanpa berkata-kata lagi. 


Suara dari kelompok lain tidak terdengar. Aku merasa mulai takut karena tidak mendengar suara lain selain suara malam. Kenapa tak ada suara cekikikan orang padahal di depan kelompok kami ada 6 kelompok lainnya yang sudah jalan duluan dan pasti mereka sudah melewati jalan ini juga. Bagaimana kalau tiba-tiba ada binatang yang menakutkan yang muncul di hadapanku atau bagaimana kalau tiba-tiba ada mahluk halus yang menampakkan diri. Aku mulai tenggelam dengan pikiranku sendiri dan tidak menghiraukan teman yang berjalan di depanku ternyata sudah jauh dan tidak terlihat. Aku mulai panik, tidak bisa mengontrol diriku. Tenggorokan ku berasa tecekat ketika ingin berteriak. Aku melihat ada sosok yang berjalan agak cepat dari depanku. Kupejamkan mata sambil merapal beberapa doa yang bisa kuucapkan, semakin lama langkah kaki yang berjalan tergesa itu semakin mendekat, aku semakin mengencangkan doa yang mulai tak jelas kubaca. Dadaku berdegup sangat kencang, tanganku mulai dingin dan ketakutan. Aku belum sempat berteriak saat sosok itu menanyaiku “ kamu kenapa disini,temanmu sudah jauh di depan” , 


“Ssiiapa kamu”, aku belum berani membuka mata.


“Aku dari kelompok dua”, suaranya samar kudengar.


“Ssiaapa”, suaraku benar-benar ketakutan.


“ Derai”.


Deg !!

Jantungku kembali berdebar tak karuan,tanganku semakin dingin dan aku merasa lebih banyak kupu-kupu yang beterbangan di rongga perutku. 


“Jangan mendekat”, aku mulai mundur selangkah.

Ia hanya terbengong mendengarku.


“Aku kembali karena ketinggalan sesuatu”.


“Ya sudah, kamu pergi saja”. Aku belum berani membuka mataku.


“Kamu yakin bisa sendirian?”, Derai menanyaiku.


Aku hanya terdiam dan tak menggubrisnya karena merasa dadaku semakin tak beraturan debarannya. Ia lalu berjalan meninggalkanku. Baru saja beberapa langkah aku merasa semakin ketakutan. 


“Tunggu, emm.. aku ikut kamu saja”, aku membenarkan posisi ranselku dan berlari menyusulnya. Kami kembali ke tempat awal pemberangkatan mengambil perlengkapan yang ketinggalan dan kembali lagi melewati jalan yang tadi. 


Sepanjang jalan dadaku masih saja berdegup kencang tapi aku merasa bahagia. Entah mengapa bisa seperti ini padahal aku sedang ketakutan tapi berada di sekitarnya membuatku merasa tenang. 

Ia berjalan di depanku dan aku mengikut mengekor di belakangnya. Hari ini ia mengenakan kaos hitam polos dan jaket hitam, celana cargo cokelat muda. Langkahnya pendek dan sedikit melambat , mungkin karena ia waspada kalau saja di jalan kami bertemu hal yang tidak diinginkan. Aku suka melihat punggungnya. Tegap dan tegar. Meskipun ia lebih banyak diam namun rasanya ia adalah seseorang yang menyenangkan. Beberapa menit berjalan ia berhenti di hadapanku.


“Kamu tidak haus?”.


Aku menggeleng, nafasku sebenarnya mulai terengah-engah. Aku tidak menjawabnya karena takut akan terlihat lemah. Baru juga jalan beberapa menit aku sudah kelelahan seperti ini. Aku memilih menggeleng saja. 


“ Di depan sana pos satu”, Derai menunjuk beberapa meter dari jarak kami ada titik cahaya yang terlihat.


Aku lagi-lagi hanya terdiam dan tidak mengatakan apapun. Kami melanjutkan perjalanan dan sampai di pos pertama. Disana sudah ada tiga orang kakak panitia yang menunggu kami. Karena kami sudah sangat jauh tertinggal di belakang kelompok lainnya. Derai ditinggal teman kelompoknya dan begitu pun aku. Akhirnya kami berdua harus melanjutkan perjalanan dengan membentuk kelompok baru berdua. Setelah mendapat beberapa pertanyaan dari pos pertama kami pun di izinkan melanjutkan perjalanan ke pos selanjutnya.


Sepanjang jalan kami cuma bertemankan cahaya senter kecil milik Derai. Jarak pos selanjutnya masih beberapa menit lagi. Kami hanya diberi petunjuk untuk mengikuti jalan setapak. Perjalanannya sangat hening dan sunyi. Kami tak saling bicara meski hanya untuk memecah hening. Aku sedikit takut dan butuh mengobrol tapi makhluk yang berjalan di depanku ini hanya diam. 


Aku memulai sedikit membuka pembicaraan, “ ehmm”,


“Kalau kami lelah,kita bisa istirahat”, Derai berhenti sejenak dan berbalik tiba-tiba.


Aku hampir saja menabraknya.


“Ngg..tidak kok, emm biar jalannya tidak terlalu hening”, aku tersenyum tipis.


Aku tak bisa melihat jelas ekspresi wajah Derai tapi yang aku rasakan ia tersenyum tipis. 


Aku merasa inilah awal kami memulai perkenalan yang sebenarnya. Perkenalan yang masih membekas bahkan hingga tahun-tahun selanjutnya hingga usia kami kini menginjak 30an.


Inilah awal kisah yang akhirnya meredup tanpa sempat menjadi ucap bahkan tanpa diketahuinya.

Komentar

Postingan Populer